Ketika Kamu Menunjukkan Luka, Tapi Mereka Selalu Punya Alasan untuk Tidak Salah

Kamu baru saja jujur soal perasaanmu. Tentang ucapan mereka yang menyakitimu, atau perlakuan yang membuatmu merasa tak dihargai.

Tapi alih-alih minta maaf, yang kamu terima justru respons seperti:

“Itu cuma perasaan kamu aja.”
“Ah, nggak separah itu.”
“Tapi kan kamu duluan yang bikin aku begitu!”

Dan akhirnya, kamu pun jadi bingung, “Apakah memang kamu yang terlalu sensitif?”

Atau… ?

“Kamu sedang jadi korban manipulasi emosional?”


Mereka Selalu Punya Alasan untuk Tidak Salah

Orang dengan kecenderungan Narcissistic Personality Disorder (NPD) sering kali sangat defensif ketika dikonfrontasi. Dan bentuk respons mereka hampir selalu seperti ini:

  1. “Itu cuma ngarang.”
    (→ Penyangkalan realitas)

  2. “Nggak separah itu.”
    (→ Mengecilkan perasaanmu)

  3. “Itu bukan masalah besar.”
    (→ Mengabaikan luka emosional)

  4. “Itu bukan salahku.”
    (→ Menghindari tanggung jawab)

  5. “Aku nggak sengaja.”
    (→ Tidak mau mengakui pengaruhnya)

  6. “Kamu duluan yang bikin aku begitu!”
    (→ Menyalahkan balik)

Kamu mungkin pernah dengar semua ini. Atau bahkan, sudah hafal urutannya. Dan kamu mulai kehilangan kepercayaan diri,
karena setiap kali jujur, kamu justru diserang balik.


💡 Ingin belajar mengenali bentuk-bentuk manipulasi halus yang sering luput dari logika sehat?

Karya dari psikologi.co.id membahas cara membedakan konflik sehat dan komunikasi yang menyakiti harga dirimu.
👉[PESAN SEKARANG]👈

Cocok buat kamu yang sedang belajar menetapkan batas emosional dengan orang yang manipulatif.


Kenapa Mereka Melakukan Itu?

Orang dengan sifat narsistik merasa bahwa citra diri mereka harus selalu sempurna. Mengakui kesalahan = ancaman besar bagi ego mereka. Maka muncullah strategi bertahan:

Membuat kamu meragukan perasaanmu sendiri
Memutarbalikkan fakta agar mereka tetap jadi korban
Menyerang balik agar kamu merasa bersalah duluan

Ini bukan bentuk komunikasi dewasa. Ini cara bertahan yang menyakiti orang lain tanpa sadar (atau kadang sengaja).


Efeknya ke Korban: Diam-Diam Melemahkan Harga Diri

Kalau kamu sering dapat respons seperti itu saat jujur:

– Kamu bisa jadi takut menyampaikan isi hati
– Meragukan ingatan dan intuisi sendiri
– Mulai merasa bahwa “nggak usah ngomong aja deh, capek…”

Dan itu semua membuatmu menjauh dari versi dirimu yang otentik.


Apa yang Bisa Kamu Lakukan Saat Menghadapi Pola Ini?

1. Jangan Terjebak dalam Adu Argumen

Kamu nggak perlu membuktikan dirimu terus-menerus. Itu hanya akan membuatmu makin bingung.

2. Tegaskan Emosimu Sendiri

Kamu punya hak untuk bilang:
“Apa yang kamu katakan menyakitiku, dan aku ingin didengar, bukan dibantah.”

3. Tetapkan Batas Sehat

Kalau mereka terus mengabaikan validitas emosimu, pertimbangkan untuk memberi jarak.

4. Bangun Dukungan Emosional dari Luar

Teman yang sehat, komunitas, atau tenaga profesional bisa bantu kamu merasa waras lagi.


Kamu Nggak Perlu Selalu Membela Diri

“Kalau tiap kali kamu menyampaikan luka,
kamu malah disalahkan balik—itu bukan relasi yang sehat.”

Kamu berhak didengar. Kamu berhak dipahami tanpa harus menyusun pembelaan. Dan kamu berhak menjauh dari orang yang menjadikan luka emosimu sebagai alat untuk mempertahankan egonya.


💬 Lagi bingung membedakan konflik sehat dan manipulasi emosional?

Tim Psikologi.co.id siap jadi teman refleksimu. Kita bisa ngobrol, pelan-pelan mengurai ulang relasi yang bikin kamu ragu sama diri sendiri.

👉[CURHAT SEKARANG]👈